Karya Jurnalistik Akan Masuk UU Hak Cipta, Konten Kreator Wajib Bayar Royalti Jika Ambil dari Media
Daftar Isi
Jakarta, Wacana Publik - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini tengah menggodok revisi Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Salah satu poin yang menjadi sorotan publik adalah rencana dimasukkannya karya jurnalistik ke dalam klausul pasal perlindungan hak cipta. Jika revisi tersebut disetujui dan disahkan, maka setiap konten kreator yang menggunakan karya jurnalistik—baik berupa tulisan, foto, maupun video—akan diwajibkan membayar royalti kepada pemilik atau media yang menerbitkan karya tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, menjelaskan hal tersebut dalam sebuah diskusi bersama Ikatan Alumni Fikom Universitas Padjadjaran (Unpad) yang digelar di Jakarta pada Rabu (8/10/2025) pagi. Dalam kesempatan itu, Supratman menegaskan bahwa karya jurnalistik memiliki unsur kreativitas, keunikan, dan proses kerja profesional yang sama dengan karya cipta lain seperti musik, film, dan seni rupa. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi hasil kerja jurnalistik agar tidak disalahgunakan atau dimonetisasi pihak lain tanpa izin.
“Karya jurnalistik merupakan hasil dari proses berpikir, riset, serta kreativitas yang patut dihargai. Jika ada pihak yang menggunakan karya tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomi, maka sudah sepantasnya mereka memberikan kompensasi kepada penciptanya,” ujar Supratman.
Latar Belakang Revisi UU Hak Cipta
Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah menjadi agenda strategis di DPR. Salah satu alasan utama revisi ini dilakukan adalah untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan dinamika digital yang berkembang pesat. Dalam era media sosial dan platform berbagi konten seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga X (Twitter), berbagai karya digital—termasuk karya jurnalistik—mudah sekali diambil, dimodifikasi, dan disebarluaskan tanpa izin.Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi media massa dan jurnalis profesional yang menggantungkan hidupnya dari produksi berita. Banyak konten kreator memanfaatkan hasil liputan media, baik berupa teks berita, infografik, atau video liputan, untuk memperkaya konten mereka tanpa memberikan atribusi apalagi royalti. Padahal, karya jurnalistik itu sendiri lahir dari proses panjang yang melibatkan keahlian, investigasi, dan biaya operasional tinggi.
Supratman menilai, sudah saatnya pemerintah memberikan perlindungan hukum yang lebih tegas bagi jurnalis dan institusi media. Perlindungan tersebut bukan hanya untuk menjaga hak ekonomi, tetapi juga menjaga ekosistem informasi agar tetap sehat dan berimbang.
Kewajiban Bayar Royalti Bagi Pihak yang Mendapat Keuntungan
Menurut Supratman, masyarakat umum tidak perlu khawatir dengan kebijakan ini. Sebab, kewajiban membayar royalti hanya berlaku bagi pihak yang memanfaatkan karya jurnalistik untuk tujuan komersial atau memperoleh keuntungan ekonomi. Misalnya, akun YouTube yang menampilkan ulang liputan berita televisi tanpa izin, atau kanal media sosial yang mengutip isi berita secara lengkap untuk menarik traffic dan iklan.“Kalau seseorang hanya membagikan tautan berita dari media arus utama tanpa mengubah isi dan tetap mencantumkan sumber, tentu tidak dikenakan kewajiban royalti. Namun, jika konten tersebut digunakan untuk tujuan monetisasi—misalnya menghasilkan uang dari iklan—itu berbeda ceritanya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Supratman mencontohkan praktik yang umum terjadi saat ini. Banyak kanal berita alternatif di platform digital mengambil cuplikan video liputan media mainstream, memotongnya, lalu mengunggah ulang disertai narasi tambahan. Praktik ini sering kali melanggar hak cipta karena mengandung unsur reproduksi dan distribusi ulang tanpa izin. Dengan adanya revisi UU Hak Cipta, tindakan tersebut dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana jika terbukti digunakan untuk keuntungan ekonomi.
Karya Jurnalistik Diakui Sebagai Karya Kreatif
Dalam diskusi tersebut, Supratman menegaskan kembali bahwa karya jurnalistik bukan sekadar informasi, tetapi juga hasil dari proses kreatif dan intelektual. Seorang jurnalis harus melakukan riset, wawancara, observasi, dan verifikasi sebelum menghasilkan berita yang layak terbit. Semua tahapan ini merupakan bagian dari “ciptaan” dalam konteks hukum hak cipta.Di beberapa negara maju seperti Prancis, Jerman, dan Australia, perlindungan terhadap karya jurnalistik digital sudah diterapkan. Bahkan, perusahaan teknologi global seperti Google dan Meta diwajibkan membayar kompensasi kepada media yang kontennya ditampilkan di platform mereka. Kebijakan ini diadopsi melalui “Neighboring Rights”, yaitu hak terkait bagi penerbit berita agar mereka memperoleh imbalan yang setimpal atas penggunaan konten oleh pihak ketiga.
Model serupa inilah yang ingin diadaptasi oleh pemerintah Indonesia dalam revisi UU Hak Cipta. “Kami sedang mempelajari beberapa model dari negara lain agar perlindungan terhadap karya jurnalistik bisa diimplementasikan tanpa menghambat kebebasan berbagi informasi di ruang digital,” jelas Supratman.
Respons dari Kalangan Media dan Akademisi
Rencana dimasukkannya karya jurnalistik ke dalam UU Hak Cipta disambut positif oleh banyak pihak, terutama dari kalangan jurnalis dan akademisi komunikasi. Ketua Ikatan Alumni Fikom Unpad, dalam forum yang sama, menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, selama ini karya jurnalis sering kali diabaikan nilai ekonominya, padahal hasil liputan dan penulisan berita memiliki peran besar dalam membentuk opini publik dan menyebarkan informasi berkualitas.Beberapa pakar komunikasi bahkan menilai bahwa kebijakan ini akan mengembalikan marwah profesi jurnalis di tengah gempuran konten instan yang sering kali menyesatkan. Dengan adanya perlindungan hukum, media akan lebih berani berinvestasi dalam liputan mendalam dan investigatif karena hasil karyanya memiliki nilai ekonomi yang terlindungi.
Namun demikian, sejumlah pihak juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam merumuskan aturan turunan. Jangan sampai regulasi ini justru membatasi kebebasan berekspresi dan akses publik terhadap informasi. “Keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan hak publik untuk mendapat informasi harus tetap dijaga,” ujar salah satu dosen Fikom Unpad.
Mekanisme Royalti Masih Dibahas
Terkait teknis pembayaran royalti, Supratman menyebutkan bahwa mekanismenya masih dalam tahap pembahasan. Pemerintah berencana membentuk Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) khusus di sektor jurnalistik yang akan bertugas mengelola, memungut, dan menyalurkan royalti kepada pemegang hak cipta, yakni jurnalis dan perusahaan media.LMK tersebut nantinya akan bekerja sama dengan asosiasi media, Dewan Pers, dan platform digital untuk memastikan sistem berjalan transparan. Prinsip yang ingin dijaga adalah keadilan dan efisiensi, sehingga baik media besar maupun kecil bisa mendapatkan manfaat dari perlindungan hukum yang sama.
Sementara itu, sistem digital pelaporan dan pelacakan penggunaan karya jurnalistik juga akan diperkuat. Pemerintah berencana menggunakan teknologi watermark dan AI tracking system agar penggunaan ulang konten dapat terdeteksi secara otomatis di berbagai platform digital.
Perlindungan untuk Ekosistem Pers Nasional
Revisi UU Hak Cipta ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam memperkuat ekosistem pers nasional. Dalam era digital yang sangat kompetitif, media konvensional sering kali kalah bersaing dengan konten kreator yang lebih bebas dan cepat menyebarkan informasi. Namun, banyak dari konten tersebut justru bersumber dari karya jurnalistik media resmi.Dengan adanya perlindungan hak cipta, media diharapkan bisa mendapatkan kembali hak ekonominya dan lebih berdaya untuk memproduksi konten berkualitas. Selain itu, aturan ini juga akan mendorong munculnya kolaborasi sehat antara media dan konten kreator.
“Bukan berarti kreator tidak boleh mengutip berita. Mereka tetap bisa menggunakan karya jurnalistik sepanjang izin diberikan dan sistem bagi hasil royalti disepakati bersama,” tegas Supratman.
Dukungan dan Tantangan Implementasi
Meski banyak dukungan mengalir, tidak sedikit juga yang menyoroti tantangan implementasi kebijakan ini. Salah satu tantangan terbesar adalah pendefinisian karya jurnalistik itu sendiri dalam konteks digital. Sebab, di era media sosial, batas antara karya jurnalistik profesional dan konten informatif masyarakat semakin kabur.DPR bersama Kemenkumham kini tengah melakukan uji publik dan konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi media, komunitas kreator digital, akademisi, serta platform teknologi global. Diharapkan, semua masukan tersebut bisa memperkaya substansi revisi UU Hak Cipta agar regulasi yang lahir nantinya proporsional, tidak tumpang tindih, dan bisa diterapkan secara efektif.
Menuju Era Perlindungan Digital yang Adil
Perubahan paradigma hukum hak cipta ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks. Perlindungan karya jurnalistik bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang pengakuan terhadap kerja intelektual dan profesionalisme di bidang jurnalistik.Revisi UU Hak Cipta diharapkan selesai pada akhir tahun 2025 dan disahkan menjadi undang-undang pada awal 2026. Jika berhasil diimplementasikan, Indonesia akan menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memberikan perlindungan hukum paling komprehensif bagi karya jurnalistik di ranah digital.
“Tujuan kita sederhana: menghormati karya orang lain dan memastikan setiap pencipta mendapat haknya. Dengan begitu, industri kreatif dan media di Indonesia bisa tumbuh bersama secara sehat,” tutup Supratman. (wp)
Posting Komentar