Keluarga Korban Tuntut Keadilan atas Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Polisi Janji Usut Tuntas

Daftar Isi


Jakarta, Wacana Publik - Kecewa, marah, dan kehilangan—tiga kata itulah yang menggambarkan perasaan mendalam yang dialami Fauzi (48), warga Depok, Jawa Barat. Empat keponakannya menjadi korban jiwa dalam tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Keempat remaja itu, yang masih duduk di bangku pendidikan menengah, gugur dalam insiden memilukan yang mengguncang dunia pendidikan pesantren di Indonesia.

Bagi Fauzi dan keluarganya, duka yang mereka rasakan begitu mendalam. Namun di balik kesedihan itu, muncul tekad kuat untuk mencari keadilan. Ia tak ingin tragedi serupa terulang di masa depan dan berharap penegakan hukum dapat memberikan pelajaran penting bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan di tanah air.

“Kalau memang di situ ada human error atau kelalaian manusia dalam hal pembangunan, ya harus diproses. Penegakan hukum itu harus ditegakkan,” ujar Fauzi, Selasa (7/10).

Empat Keponakan Jadi Korban, Anak Kandung Selamat

Fauzi menceritakan, empat keponakannya yang meninggal dunia adalah MH, MS, BD, dan A. Mereka masih berusia belasan tahun, sekitar 16–17 tahun. Di antara duka itu, Fauzi sedikit lega karena anak kandungnya, TM, yang juga menjadi santri di pondok tersebut, berhasil selamat dari reruntuhan bangunan.

Menurutnya, posisi para santri saat kejadian menjadi faktor penentu nasib mereka. TM berada di saf pertama dekat area imam yang relatif aman, sementara empat keponakannya berada di bagian tengah ruangan, tepat di area yang kemudian runtuh dan menimbun puluhan santri lainnya.

“Mereka semua sedang salat berjemaah. Anak saya selamat karena berada di bagian depan. Sedangkan empat keponakan saya berada di tengah. Saya tidak bisa membayangkan detik-detik terakhir mereka,” tuturnya dengan suara bergetar.

Bangunan Diduga Tak Layak dan Tak Sesuai Standar

Lebih jauh, Fauzi menduga bahwa kondisi fisik bangunan pondok tersebut memang sudah tidak layak. Berdasarkan hasil konsultasinya dengan sejumlah ahli bangunan, ia menilai konstruksi gedung itu jauh dari standar keamanan konstruksi yang seharusnya diterapkan dalam pembangunan bertingkat.

“Saya sudah konsultasi dengan yang lebih ahli. Dilihat dari konstruksinya memang tidak standar untuk pembangunan,” ujarnya. Ia menambahkan, sejak awal bangunan tersebut tampak tidak proporsional dan terkesan dikerjakan tanpa pengawasan profesional yang memadai.

Fauzi juga menyoroti dugaan bahwa beberapa santri sempat dilibatkan dalam proses pembangunan atau pengecoran gedung pondok. Ia menilai hal itu sebagai praktik yang tidak seharusnya terjadi di lembaga pendidikan, terlebih jika menyangkut keselamatan anak di bawah umur.

“Santri pada saat itu dipekerjakan. Nanti bukan tidak mungkin ada eksploitasi anak di sana. Aparat penegak hukum jangan berhenti di evakuasi saja, tapi juga proses hukumnya harus jalan,” tegasnya.

Tuntut Semua Pihak Bertanggung Jawab, Termasuk Pengurus dan Kiai

Bagi Fauzi, siapa pun yang terlibat dalam kelalaian tersebut harus dimintai pertanggungjawaban hukum, tanpa pandang bulu. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab hukum tidak boleh berhenti hanya karena seseorang memiliki status sosial atau jabatan tinggi di lingkungan keagamaan.

“Kita tidak memandang status sosial atau jabatan. Meskipun statusnya kiai, kalau memang bersalah ya harus diproses. Masa hukum kalah sama status sosial seseorang,” kata Fauzi.

Ia menambahkan, penerimaan terhadap takdir tidak berarti mengabaikan tanggung jawab manusia. Baginya, keikhlasan dalam menerima musibah tetap harus dibarengi dengan upaya menegakkan keadilan agar tidak ada korban berikutnya.

“Kalau masalah ikhlas, benar kita ikhlas, itu namanya takdir. Tapi kalau kelalaian, ya harus diproses. Hukum harus ditegakkan, supaya ke depan adik-adik kita bisa belajar dengan aman,” tegasnya.

Budaya Hormat Kiai Jadi Hambatan Penegakan Hukum

Namun, Fauzi juga memahami bahwa tidak semua wali santri memiliki keberanian untuk menuntut pihak pesantren. Menurutnya, sebagian besar keluarga korban memilih diam karena faktor budaya dan rasa hormat terhadap para kiai.

“Banyak wali murid tidak ingin melanjutkan, karena kultur kami itu hormat sekali kepada guru. Tapi menurut saya pribadi, meskipun siapapun itu, kalau ada kelalaian dan ada dasar hukum, ya harus diproses,” jelasnya.

Ia mengajak publik dan masyarakat luas untuk ikut mengawal jalannya proses hukum. Bagi Fauzi, pengawasan masyarakat penting agar kasus ini tidak berhenti hanya pada tahap evakuasi dan belasungkawa semata.

Saat ini, Fauzi dan keluarga masih menunggu proses identifikasi jenazah keempat keponakannya di RS Bhayangkara Polda Jatim, Surabaya. Ia berharap proses tersebut segera selesai agar bisa memakamkan mereka dengan layak.

Keluarga Lain Pilih Pasrah dan Anggap Musibah Sebagai Takdir

Tidak semua keluarga korban berpandangan sama dengan Fauzi. Beberapa wali santri memilih untuk pasrah dan menerima kejadian ini sebagai bagian dari takdir Tuhan. Salah satunya adalah Muhammad Ma’ruf (50), ayah dari MA (13), salah satu korban meninggal dunia dalam tragedi itu.

“Kami nitipkan di pondok ini dengan tujuan, agar anak kami kenal dengan Tuhannya. Kalau ada kejadian seperti ini, itu semua takdir dan kami siap menerima adanya,” kata Ma’ruf dengan tenang.

Pernyataan tersebut menggambarkan dilema yang dihadapi sebagian besar masyarakat dalam peristiwa seperti ini. Di satu sisi, ada keyakinan kuat terhadap takdir Ilahi, namun di sisi lain, ada kebutuhan mendesak untuk memastikan keselamatan dan tanggung jawab manusia dalam mengelola lembaga pendidikan.

Pengasuh Ponpes Sebut Musibah sebagai Ujian dari Allah

Senada dengan Ma’ruf, Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib, menyebut bahwa peristiwa yang menewaskan puluhan santri ini merupakan takdir dari Tuhan. Menurutnya, semua pihak perlu bersabar dan ikhlas menerima ujian ini.

“Ya saya kira ini takdir dari Allah, jadi semuanya harus bisa bersabar. Dan mudah-mudahan juga diberi diganti oleh Allah yang lebih baik,” ujar KH Mujib saat ditemui di lokasi kejadian pada 29 September lalu.

Ia juga menyampaikan doa agar seluruh korban dan keluarga diberikan kekuatan serta ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. “Diberi pahala yang sangat besar dan mudah-mudahan dibalas kebaikan oleh Allah SWT yang lebih dari musibah ini,” ucapnya.

Polisi Janji Usut Tuntas Penyebab Tragedi

Sementara itu, Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nanang Avianto menegaskan bahwa pihak kepolisian akan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap insiden ini. Ia memastikan bahwa proses hukum tetap akan berjalan setelah tahap evakuasi seluruh korban selesai.

“Jelas nanti akan dilakukan proses hukum. Tapi yang utama sekarang ini adalah masalah kemanusiaannya dulu,” kata Nanang saat meninjau lokasi kejadian, Jumat (3/10).

Ia menjelaskan bahwa tim penyidik telah mengumpulkan berbagai bukti dan data, termasuk rekaman video, foto, dan dokumen terkait pembangunan gedung tersebut. Pihaknya juga akan melibatkan para ahli konstruksi untuk menelusuri penyebab ambruknya bangunan tiga lantai tersebut.

“Semua data sudah kita kumpulkan. Kami filmkan, dokumentasikan, dan nanti akan ada pendapat dari ahli konstruksi untuk menentukan penyebabnya secara ilmiah,” jelasnya.

Analisis Konstruksi Jadi Kunci Penyelidikan

Menurut Nanang, penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh mulai dari fondasi bangunan hingga atap yang diduga menjadi titik awal runtuhnya struktur. Ia menegaskan, penyelidikan tidak akan dilakukan secara serampangan, melainkan berbasis data dan analisis ilmiah.

“Harus dilihat dari bawah sampai atas. Karena membangun itu tidak ujuk-ujuk dari atas, semua berawal dari fondasi. Jadi kami harus tahu apakah fondasinya sesuai standar atau tidak,” jelasnya.

Ia meminta publik untuk bersabar menunggu hasil penyelidikan. Polisi berjanji akan transparan dan melibatkan para ahli agar hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmiah.

“Indikasi awal nanti akan dijelaskan oleh teman-teman ahli. Penjelasan itu nanti yang lebih valid karena berbasis sains,” ujarnya.

Kronologi Singkat Tragedi Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny

Tragedi memilukan itu terjadi pada Senin sore, 29 September, di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Saat kejadian, ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar berjemaah di gedung baru asrama putra yang masih dalam tahap pembangunan. Tiba-tiba, struktur bangunan bagian tengah runtuh dan menimpa para santri yang berada di bawahnya.

Proses evakuasi berlangsung dramatis selama beberapa hari. Petugas Basarnas, TNI, Polri, serta relawan bekerja tanpa henti untuk mencari korban di antara puing-puing beton dan besi bangunan. Beberapa santri ditemukan masih hidup meski mengalami luka parah, sementara sebagian besar lainnya tidak berhasil diselamatkan.

Hingga Selasa (7/10), Basarnas mencatat total 171 orang menjadi korban dalam tragedi ini. Dari jumlah tersebut, 104 orang selamat, 67 meninggal dunia, dan delapan lainnya ditemukan dalam bentuk bagian tubuh (body part) yang belum teridentifikasi sepenuhnya.

Tragedi yang Jadi Peringatan Nasional

Peristiwa ambruknya gedung pesantren Al Khoziny menjadi peringatan keras bagi semua pihak, terutama pengelola lembaga pendidikan yang tengah membangun infrastruktur baru. Banyak kalangan menilai, pengawasan terhadap pembangunan gedung sekolah dan pesantren di Indonesia masih lemah, terutama dalam hal sertifikasi material, tenaga kerja, dan konsultasi dengan insinyur profesional.

Aktivis pendidikan dan LSM kemanusiaan pun menyerukan agar pemerintah daerah dan Kementerian Agama lebih ketat mengawasi pembangunan di lingkungan pendidikan berbasis agama. Mereka menilai, banyak pesantren di daerah yang melakukan pembangunan secara swadaya tanpa izin konstruksi yang jelas, sehingga rawan menimbulkan bencana seperti ini.

Tragedi Al Khoziny, kata pengamat pendidikan Islam, Dr. Muhajirin, harus menjadi pelajaran penting. “Pesantren adalah lembaga mulia yang mendidik generasi bangsa, tetapi keselamatan santri juga harus jadi prioritas utama. Tidak boleh ada alasan apapun untuk menyepelekan standar keselamatan,” ujarnya.

Duka yang menyelimuti keluarga korban tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny menjadi luka bersama bagi bangsa. Di tengah rasa kehilangan, muncul desakan kuat agar keadilan ditegakkan dan kelalaian manusia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari takdir semata.

Bagi Fauzi dan keluarga lainnya, proses hukum yang adil bukan hanya untuk mencari siapa yang salah, tetapi juga untuk memastikan bahwa tidak ada lagi nyawa santri yang melayang sia-sia akibat kelalaian manusia.

“Ini bukan soal menyalahkan siapa, tapi soal tanggung jawab. Karena anak-anak kami punya hak untuk belajar dengan aman,” pungkas Fauzi. (wp)

Posting Komentar