Krisis Politik Terburuk, Emmanuel Macron Didesak Mundur dari Jabatan Presiden Prancis
Daftar Isi
Jakarta, Wacana Publik - Presiden Prancis Emmanuel Macron tengah menghadapi tekanan politik paling berat sepanjang masa kepemimpinannya. Situasi politik di Paris kini kian memanas setelah Perdana Menteri ke-7 di era Macron, Sébastien Lecornu, secara mendadak mengundurkan diri pada Senin (6/10/2025). Keputusan itu memicu gelombang keresahan baru di kalangan politisi Prancis dan menimbulkan tanda tanya besar soal masa depan kepemimpinan Macron menjelang akhir masa jabatannya pada 2027 mendatang.
Lecornu diketahui merupakan salah satu menteri muda yang dipercaya Macron untuk menstabilkan pemerintahan koalisi yang mulai rapuh sejak pertengahan 2024. Namun, langkahnya untuk mundur justru menjadi sinyal kuat bahwa krisis politik di dalam pemerintahan semakin dalam dan belum menemukan solusi konkret.
Macron telah menerima surat pengunduran diri Lecornu, tetapi memberinya waktu hingga Rabu (8/10/2025) malam untuk mencoba merumuskan kompromi politik yang bisa menjaga keberlangsungan koalisi. Upaya ini disebut sebagai jalan tengah untuk menghindari kebuntuan politik yang berpotensi melumpuhkan roda pemerintahan Prancis. Namun, sejauh ini, prospek keberhasilannya masih sangat tipis.
Jika perundingan tersebut gagal, salah satu opsi ekstrem yang tersedia bagi Macron adalah membubarkan parlemen dan menggelar pemilu legislatif mendadak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan komposisi legislatif yang lebih stabil dan bisa bekerja sama dengan eksekutif. Langkah ini memang berisiko tinggi, namun Macron disebut tidak memiliki banyak pilihan lain.
Pertemuan Politik Tertutup di Istana Élysée
Menurut laporan dari sumber istana yang tidak ingin disebut namanya, Macron telah menggelar serangkaian pertemuan tertutup dengan para ketua majelis tinggi dan majelis rendah parlemen pada Selasa (7/10/2025) malam. Pertemuan ini disebut sebagai bagian dari konsultasi formal yang wajib dilakukan jika presiden berniat mengadakan pemilu baru.
Pertemuan Politik Tertutup di Istana Élysée
Menurut laporan dari sumber istana yang tidak ingin disebut namanya, Macron telah menggelar serangkaian pertemuan tertutup dengan para ketua majelis tinggi dan majelis rendah parlemen pada Selasa (7/10/2025) malam. Pertemuan ini disebut sebagai bagian dari konsultasi formal yang wajib dilakukan jika presiden berniat mengadakan pemilu baru.Kendati demikian, pihak istana Élysée belum memberikan keterangan rinci mengenai hasil dari pertemuan tersebut. Macron sendiri dikabarkan tengah menimbang berbagai opsi, termasuk mempertahankan Lecornu sementara waktu atau menunjuk perdana menteri baru yang akan menjadi kepala pemerintahan ke-8 selama masa jabatannya.
Langkah apa pun yang diambil Macron akan menjadi pertaruhan besar bagi masa depan politiknya, terutama mengingat ia sudah tidak dapat mencalonkan diri lagi dalam pemilu presiden 2027 mendatang.
Tekanan dari Sekutu Sendiri
Yang membuat situasi semakin genting adalah munculnya desakan dari sekutu politiknya sendiri. Edouard Philippe, mantan Perdana Menteri yang menjabat di bawah Macron antara tahun 2017 hingga 2020, secara terbuka menyerukan agar Macron mengundurkan diri demi kepentingan bangsa.Dalam wawancara dengan televisi RTL, Philippe menilai bahwa krisis politik yang sedang melanda Prancis sudah berada di titik berbahaya. Ia menuduh Macron gagal menjaga stabilitas dan harus memberikan jalan bagi transisi yang lebih bermartabat.
“Presiden Macron harus membantu Prancis keluar dari krisis ini secara terkendali dan bermartabat. Ini bukan lagi tentang mempertahankan jabatan, tetapi tentang menyelamatkan kehormatan institusi negara,” tegas Philippe.
Komentar tersebut mengguncang panggung politik Prancis dan bahkan oleh harian Le Parisien digambarkan sebagai “bom politik” yang bisa mempercepat perubahan besar di tingkat pemerintahan.
Juru Bicara Istana: Macron Tidak Akan Mundur
Menanggapi desakan itu, juru bicara kepresidenan Aurore Bergé menegaskan bahwa Presiden Macron tidak memiliki niat untuk mengundurkan diri. Ia akan tetap menjabat hingga menit terakhir masa pemerintahannya pada tahun 2027.
Juru Bicara Istana: Macron Tidak Akan Mundur
Menanggapi desakan itu, juru bicara kepresidenan Aurore Bergé menegaskan bahwa Presiden Macron tidak memiliki niat untuk mengundurkan diri. Ia akan tetap menjabat hingga menit terakhir masa pemerintahannya pada tahun 2027.“Presiden Emmanuel Macron tetap berkomitmen untuk melanjutkan mandat yang telah diberikan rakyat Prancis. Ia akan bekerja hingga akhir masa jabatannya,” kata Bergé dalam konferensi pers di Paris, Selasa (7/10).
Namun, pernyataan itu tampaknya tidak cukup untuk meredam keresahan politik yang melanda. Di parlemen, beberapa anggota fraksi koalisi mulai kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan presiden dalam mengelola pemerintahan yang semakin terpecah.
Parlemen yang Terbelah dan Pemerintahan yang Rapuh
Krisis politik yang menjerat Macron bermula dari langkah kontroversialnya pada musim panas tahun 2024, ketika ia memutuskan menggelar pemilu legislatif mendadak untuk memperkuat posisinya di parlemen. Namun, langkah tersebut justru menjadi bumerang besar.Alih-alih memperkokoh dukungan, hasil pemilu menghasilkan parlemen yang terpecah menjadi tiga blok besar: koalisi pendukung Macron yang melemah, oposisi sayap kiri yang agresif, dan kubu sayap kanan ekstrem yang dipimpin oleh Marine Le Pen.
Dengan susunan parlemen seperti itu, setiap kebijakan pemerintah menjadi sangat sulit disetujui. Perdebatan panjang dan kebuntuan politik kerap mewarnai sidang-sidang penting, termasuk pembahasan anggaran dan reformasi kebijakan dalam negeri.
Ancaman Kenaikan Kekuatan Sayap Kanan
Kondisi ini memberi keuntungan besar bagi Marine Le Pen dan partai sayap kanannya, National Rally (RN). Le Pen disebut tengah menyiapkan strategi untuk memanfaatkan kekacauan politik sebagai momentum menuju pemilihan presiden 2027.Bagi kubu Le Pen, kegagalan Macron menjaga stabilitas dianggap sebagai bukti bahwa elite politik lama sudah kehilangan sentuhan dengan rakyat. Dukungan publik terhadap RN meningkat tajam di berbagai survei, bahkan melampaui kandidat moderat seperti Edouard Philippe.
“Situasi ini adalah bukti nyata bahwa Prancis membutuhkan arah baru,” ujar salah satu juru bicara RN, seperti dikutip AFP. “Rakyat sudah lelah dengan drama politik tanpa solusi.”
Jalan Terjal Menuju Stabilitas
Kini, Macron berada di persimpangan yang menentukan. Di satu sisi, ia berusaha mempertahankan legitimasi dan citra sebagai pemimpin reformis Eropa. Di sisi lain, tekanan politik domestik membuat ruang manuvernya semakin sempit.Beberapa analis politik Eropa memprediksi bahwa langkah Macron berikutnya akan sangat menentukan arah politik Prancis untuk dua tahun ke depan. Jika ia gagal membangun koalisi baru yang stabil, bukan tidak mungkin Prancis akan kembali menggelar pemilu legislatif dalam waktu dekat.
“Macron sedang memainkan permainan waktu,” kata analis politik dari Sciences Po, Pierre Larrouturou. “Ia tahu bahwa jika salah langkah, posisinya akan semakin lemah dan membuka jalan bagi ekstrem kanan untuk mengambil alih kekuasaan.”
Untuk sementara, rakyat Prancis hanya bisa menunggu hasil keputusan di Istana Élysée. Namun satu hal yang pasti, krisis politik kali ini telah menempatkan Emmanuel Macron dalam posisi paling rapuh sepanjang karier politiknya — sebuah ujian besar yang akan menentukan bagaimana sejarah mencatat kepemimpinannya di tahun-tahun terakhir. (wp)
Posting Komentar