Pemangkasan Dana Bagi Hasil Rp15 Triliun Ubah Arah Program Pramono Anung–Rano Karno di 2026

Daftar Isi


Jakarta, Wacana Publik - Rencana dan pelaksanaan program kerja Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno pada tahun anggaran 2026 dipastikan mengalami penyesuaian signifikan. Hal ini menyusul kebijakan pemerintah pusat yang memangkas Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga hampir Rp15 triliun.

Pemangkasan besar-besaran itu mengharuskan Pemprov DKI Jakarta melakukan efisiensi, realokasi anggaran, serta menyusun strategi pembiayaan alternatif agar layanan dasar dan urusan wajib pemerintahan tidak terganggu.

Kondisi ini menjadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), yang menilai kebijakan pemangkasan DBH tersebut berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

KPPOD Nilai Pemangkasan Tak Sesuai Undang-Undang

Menurut KPPOD, kebijakan pemangkasan DBH terhadap Jakarta seharusnya dihitung berdasarkan realisasi penerimaan tahun sebelumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 110 dan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Jika tidak, maka keputusan tersebut berpotensi mengganggu pelaksanaan program kerja pemerintah daerah, termasuk program strategis yang telah dirancang oleh Pramono Anung–Rano Karno.

“Pemangkasan ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam undang-undang sudah jelas bahwa DBH harus dihitung berdasarkan realisasi tahun sebelumnya. Jadi, kalau belum ada dasar hitungan yang jelas dari tahun 2025, mestinya tidak bisa langsung dipotong,” ujar Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman, Selasa (7/10/2025).

Lebih lanjut, Herman menegaskan bahwa DBH merupakan salah satu instrumen penting dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. DBH dialokasikan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara daerah penghasil dan nonpenghasil, sekaligus menjaga pemerataan pembangunan.

”Kalau kemudian dana itu dipotong sepihak, maka prinsip keadilan fiskal yang diatur dalam undang-undang menjadi kabur. Ini bukan hanya soal anggaran, tapi soal kepastian hukum dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah,” jelasnya.

Pemprov DKI Siapkan Strategi Efisiensi

Menanggapi hal tersebut, Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Jakarta, Suharini Eliawati, menyebut Pemprov DKI telah menyiapkan langkah-langkah efisiensi agar pemotongan DBH tidak mengganggu pelayanan publik.

Menurut Suharini, sejumlah pos belanja masih bisa diefisiensikan tanpa mengorbankan program prioritas. Sementara kegiatan yang bersifat sekunder atau tidak mendesak bisa ditunda ke tahun anggaran berikutnya.

“Beberapa kegiatan bisa digeser ke 2027 atau dianggarkan kembali melalui APBD Perubahan 2026. Kami juga sedang merekonsiliasi anggaran gaji ASN agar sesuai dengan kondisi terbaru,” jelas Suharini.

Ia menjelaskan, rekonsiliasi anggaran gaji ASN merupakan proses penting dalam memastikan data anggaran yang dikeluarkan untuk aparatur sipil negara sesuai antara berbagai sistem keuangan yang digunakan. Langkah ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih dan kesalahan pelaporan keuangan.

“Selain itu, pengeluaran untuk kebutuhan seperti telepon, air, listrik, dan internet juga akan dihitung ulang. Kami juga akan menjajaki kerja sama dengan pemerintah pusat untuk kegiatan tertentu agar anggaran daerah tetap efisien,” ujarnya.

RAPBD 2026 Direvisi Setelah Pemotongan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun 2026 yang semula mencapai Rp95,35 triliun kini harus direvisi. Sebelumnya, RAPBD tersebut sudah meningkat Rp3,49 triliun dibandingkan tahun 2025. Namun, setelah pemotongan DBH sebesar Rp15 triliun, total pendapatan daerah otomatis menurun drastis.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengakui bahwa pihaknya harus mengikuti kebijakan pemerintah pusat. “Kami harus menyesuaikan kembali RAPBD yang sudah diserahkan kepada DPRD. Ada realokasi, efisiensi, dan juga penekanan terhadap program yang tidak boleh dikurangi,” ujar Pramono seusai rapat pimpinan daerah, Senin (6/10/2025).

Ia menegaskan bahwa program prioritas yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan warga miskin tidak akan dikurangi. “Program seperti bansos pendidikan, Kartu Jakarta Pintar Plus, dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tetap berjalan. Itu sudah kami jaga,” tegasnya.

Sebaliknya, beberapa program lain yang sebelumnya direncanakan menggunakan penyertaan modal daerah akan dicarikan alternatif pembiayaan lain. Misalnya, proyek interkoneksi di Dukuh Atas akan dibangun tanpa menggunakan dana APBD.

Dorong Pembiayaan Kreatif

Pramono menegaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta akan memaksimalkan pendekatan creative financing atau pembiayaan kreatif. Konsep ini memungkinkan pemerintah daerah mencari sumber dana alternatif di luar APBD tanpa melanggar ketentuan hukum dan akuntabilitas publik.

“Pendekatan ini melibatkan kerja sama dengan pihak swasta, mitra strategis, maupun pemanfaatan potensi daerah seperti denda koefisien lantai bangunan (KLB), sertifikat laik fungsi (SLF), dan surat persetujuan prinsip pembebasan lahan (SP3L),” papar Pramono.

Ia menjelaskan, strategi ini penting agar pembangunan tetap berjalan meskipun fiskal daerah sedang mengalami tekanan. “Kita tidak boleh berhenti. Selama ada ruang kreatif untuk membiayai proyek pembangunan, kita akan manfaatkan secara optimal,” katanya.

Suharini menambahkan bahwa beberapa proyek publik seperti pembangunan puskesmas dan pengadaan alat kesehatan dapat dikerjakan melalui skema kerja sama. “Kita akan mendorong public-private partnership agar pembangunan tetap berlanjut meskipun ada tekanan fiskal,” ujarnya.

Evaluasi Perjalanan Dinas dan Program Sekunder

Sebagai bagian dari efisiensi, Pemprov DKI juga akan mengevaluasi perjalanan dinas aparatur dan kegiatan nonprioritas. Evaluasi ini akan dilihat dari sejauh mana kegiatan tersebut memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial-budaya Jakarta.

“Perjalanan dinas yang tidak berdampak langsung terhadap kinerja dan pelayanan publik akan dikurangi. Fokus kami adalah menjaga keberlanjutan program prioritas yang menyentuh masyarakat,” ujar Suharini.

Menurutnya, rapat besar terkait pembahasan ulang anggaran akan segera digelar bersama DPRD dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk memastikan arah kebijakan keuangan daerah tetap selaras dengan target pembangunan jangka menengah.

Dampak Pemotongan terhadap Program Daerah

KPPOD menilai bahwa pemangkasan DBH bisa berdampak luas terhadap implementasi program daerah. Herman Suparman menjelaskan bahwa berdasarkan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri, 90 persen daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal rendah.

“Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan sangat tergantung pada transfer ke daerah, termasuk DBH. Kalau DBH-nya dipotong, tentu banyak program yang akan tertunda,” ujarnya.

Meski Jakarta termasuk daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, Herman mengingatkan bahwa dampaknya tetap ada. “Jakarta mungkin tidak sampai terganggu layanan dasarnya, tapi implementasi program pembangunan pasti terdampak. Misalnya, proyek infrastruktur atau revitalisasi kawasan bisa tertunda,” katanya.

Ketentuan Hukum dan Potensi Pelanggaran

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, dijelaskan bahwa Dana Bagi Hasil ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan satu tahun sebelumnya. Pasal 110 menyebut bahwa pagu DBH harus dihitung berdasarkan penerimaan yang sudah terealisasi.

Kemudian, Pasal 120 menjelaskan bahwa alokasi DBH per daerah dihitung berdasarkan pembobotan 90 persen bagi hasil dan 10 persen berdasarkan kinerja pemerintah daerah. Sementara Pasal 122 menyebut bahwa perubahan persentase DBH hanya dapat dilakukan dengan peraturan pemerintah setelah konsultasi dengan DPR.

“Kalau pemangkasan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, maka hal ini bisa dianggap melanggar aturan yang berlaku,” ujar Herman menegaskan.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan semacam ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi daerah. “Hubungan keuangan pusat dan daerah seharusnya stabil dan bisa diprediksi, agar pemerintah daerah bisa menyusun rencana pembangunan jangka panjang dengan baik,” ujarnya.

Jakarta Tetap Fokus pada Layanan Publik

Meskipun menghadapi tekanan fiskal, Gubernur Pramono memastikan bahwa Pemprov DKI tidak akan mengorbankan sektor pelayanan publik. Ia menegaskan, layanan pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial tetap menjadi prioritas utama.

“Kami berkomitmen untuk menjaga agar masyarakat kecil tidak terdampak kebijakan ini. Semua program untuk warga kurang mampu tetap berjalan,” ucap Pramono.

Selain itu, pemerintah juga akan terus mendorong digitalisasi layanan publik untuk menekan biaya operasional. “Digitalisasi bisa menjadi salah satu cara efisiensi. Dengan sistem yang terintegrasi, anggaran bisa lebih hemat dan pelayanan tetap cepat,” tambahnya.

Tantangan Fiskal dan Ujian Kepemimpinan

Pemangkasan Dana Bagi Hasil ini menjadi ujian pertama bagi kepemimpinan Pramono Anung–Rano Karno dalam menakhodai Jakarta pada tahun 2026. Kebijakan ini memaksa Pemprov DKI untuk lebih kreatif dan disiplin dalam mengelola anggaran di tengah tekanan fiskal.

Namun, di sisi lain, situasi ini juga membuka ruang bagi inovasi pembiayaan daerah. Dengan strategi creative financing, efisiensi birokrasi, dan penguatan kerja sama dengan sektor swasta, Jakarta diharapkan tetap mampu menjalankan program pembangunan tanpa menurunkan kualitas layanan publik.

Herman Suparman menutup pernyataannya dengan pesan reflektif: “Hubungan keuangan pusat dan daerah harus dijaga agar saling mendukung, bukan saling membebani. Kalau Jakarta saja mulai terdampak, apalagi daerah lain dengan fiskal lemah. Ini saatnya kita kembali menegakkan aturan yang ada dan memastikan setiap kebijakan fiskal berpihak pada pembangunan yang adil.” (wp)

Posting Komentar